bilaterals.org logo
bilaterals.org logo
   

Kejar target finalisasi perjanjian perdagangan bebas, pemerintah perdagangkan hidup dan hak rakyat

Toutes les versions de cet article : [English] [Indonesia]

Siaran Pers - 05 Maret 2019

Kejar target finalisasi perjanjian perdagangan bebas, pemerintah perdagangkan hidup dan hak rakyat

Jakarta, 4 Maret 2019. Koalisi masyarakat sipil untuk keadilan ekonomi mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak mensahkan perjanjian Indonesia-Australia CEPA tanpa membuka konsultasi dengan publik secara luas. Hal ini dikarenakan selama perundingan selalu dilakukan secara tertutup dan tidak transparan mengenai isi teksnya. Bahkan dalam prosesnya, koalisi ini juga meragukan adanya ruang konsultasi yang bersifat berkelanjutan oleh Pemerintah kepada Parlemen.

Perundingan Indonesia-Australia CEPA dirampungkan pada Agustus 2018, dan perjanjian ini ditandatangani pada Senin, 4 Maret 2019. Dalam kesepakatannya, Indonesia-Australia secara signifikan menurunkan tarif dan hambatan perdagangan, meliberalisasi investasi, dan sektor jasa-jasa, termasuk didalamnya adalah e-commerce.

Kejar target sebelum pemilu

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menyatakan bahwa ambisi Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan berbagai perjanjian perdagangan bebas, termasuk IA CEPA, hanya sekedar mengejar target kuantitas kinerja tanpa mengukur secara presisi dampaknya secara positif bagi masyarakat.

“Pemerintah Indonesia tidak perlu terlalu ambisius menyelesaikan beberapa perundingan perjanjian perdagangan bebas dalam tahun ini atau tahun depan. Hal ini karena ada banyak yang harus dipertimbangkan dampak luasnya oleh Indonesia mengingat perjanjian perdagangan bebas khususnya IA CEPA tidak hanya bicara soal ekspor dan impor”, tegas Rachmi.

Sebelum ratifiksi, perlu kiranya DPR RI dan Pemerintah Indonesia melakukan analisis dampak FTA yang sudah selesai dirundingkan. Ini untuk menghitung secara presisi dampak apa yang memang betul-betul akan dirasakan oleh Indonesia ke depan. Justru yang ditakutkan apabila IA CEPA diratifikasi di masa Pemilu ini akan sangat membahayakan nasib rakyat Indonesia di kemudian hari tanpa adanya pertimbangan matang.

“Yang paling penting dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah memastikan hak rakyat Indonesia yang dilindungi dalam Konstitusi tidak diabaikan bahkan dilanggar oleh perjanjian perdagangan internasional. Jadi Pemilu bukanlah alasan untuk mengesahkan perjanjian IA CEPA ataupun perjanjian perdagangan internasional lainnya” tambahnya.

Indonesia banjir impor pangan dan produk-produk pertanian dari Australia

Walaupun harapan pemerintah Indonesia atas perjanjian ini ingin meningkatkan ekspor ke Australia, tetapi data neraca perdagangan Indonesia – Australia selalu memperlihatkan defisit. Tanpa perjanjian dagang FTA Indonesia Australia, angka impor pangan dari Australia sejak 2012 hingga 2018 menunjukkan kenaikkan yang signifikan. Bahkan, dari Juni-Agustus 2018 mencapai angka US$ 3,8 juta,- khususnya impor daging sapi, gula rafinasi, susu dan keju. Tentu nya, perjanjian ini akan membawa dampak yang serius bagi pangan di Indonesia. Apalagi dengan dengan semakin banyak menandatangani perjanjian dagang yang justru mendatangkan impor pangan yang lebih tinggi.

Nilai impor hasil pertanian dari Australia menunjukkan angka yang signifikan, karena Indonesia merupakan pasar terbesar bagi Australia untuk ekspor hasil-hasil pertanian, di kawasan Asia Tenggara. Tidak heran ketika dilihat data impor hasil pertanian dari Australia menunjukkan angka meningkat pada tiap tahun nya, hingga 2018 tercatat Indonesia mengimpor hingga di angka US$ 5,16 juta, atau kira-kira 33% dari ekspor hasil pertanian Australia di impor Indonesia, khusus nya susu, gandum, ternak hidup, mentega, buah, dan kapas.

Kartini Samon, Peneliti dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi menjelaskan bahwa dengan tanpa IA CEPA angka impor pertanian dari Australia mencapai hingga US$ 5,16 juta, dan membanjiri Indonesia. Karena itu, perdagangan bebas dengan Australia akan membawa dampak mengganggu petani serta peternak domestic, industri gula dan produsen pertanian lain, bila dibiarkan begitu saja.

“Sementara ekspor produk Indonesia ke Australia, kebanyakan sudah mendapatkan 0% tarif, artinya dengan perjanjian ini, mungkin tidak akan meningkatkan pasar yang sebelumnya. Tetapi sebaliknya, Indonesia malah lebih kebanjiran impor pangan dari Australia”, terang Kartini.

Selain itu, Henri Pratama, Bidang Advokasi dan Riset, Dewan Pengurus Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional mengatakan Indonesia selalu memiliki masalah dengan pengelolaan industri garam. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang akan melonggarkan impor garam menambah buruk persoalan tata kelola garam nasional. kebijakan pemerintah dengan membuka kuota impor garam seharusnya tidak perlu dilakukan atas empat alasan. Pertama, kebijakan impor garam dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi secara berlebihan, yang kemudian melumpuhkan produksi garam nasional. Akibatnya petambak garam di rugikan oleh kebijakan tersebut, sehingga berujung kepada alih profesi dari menjadi buruh tenaga kasar karena produksi garamnya tidak menguntungkan. Persoalan di hilir adalah kemampuan dan kapasitas produksi garam menurun dan kemudian dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan garam nasional. Kedua, tidak hanya terjadi eksodus/alih profesi petambak garam saja, lahan-lahan produksi garam kian menyempit dikarenakan para pemilik lahan tidak memproduksi garam karena banyak petambak garam meninggalkan profesinya atas dampak dari kebijakan impor garam. Ketiga, buruknya pengelolaan produksi PT. Garam Indonesia dalam menyerap garam rakyat. Pemerintah seharusnya dengan jelas menunjuk PT Garam Indonesia supaya hasil produksi garam di setiap daerah bisa terserap selain itu harusnya upaya lain dengan memberikan insentif kepada petambak garam. Keempat, pemerintah harus kembali memperluas lahan produksi garam. Swasemba garam nasional harus menjadi prioritas utama untuk keluar dari perangkap ketergantungan impor garam. Oleh karenanya perluasan lahan produksi garam harus di lakukan, dengan memanfaatkan lahan yang tidak produktif menjadi lahan produksi garam nasional, termasuk lahan yang jadi incaran konflik pertambangan dan proyek reklamasi.

Kebijakan impor garam, akan memperpanjang kemiskinan yang dihadapi oleh petambak garam bangsa Indonesia akan kehilangan identitasnya. Oleh karenanya, untuk mewujudkan swasembada garam yang harus di laksanakan oleh pemerintah adalah dengan memberikan kepastian usaha pergaraman sebagai mandat UU No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam serta meminta kepada Presiden Indoensia untuk menerbikan Instruksi Presiden mengenai swasembada garam untuk memperbaiki tata kelola garam nasional. Ungkap Henri Pratama”.

Investasi

Hal lain yang menjadi kekhawatiran kelompok masyarakat sipil Indonesia adalah liberalisasi investasi di dalam perjanjian jasa.

Dalam dokumen IA CEPA key outcomes yang dikeluarkan oleh Australian Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT), [1] disebutkan bahwa liberalisasi investasi di sektor jasa dianggap akan lebih memberikan jaminan atas kepemilikan investasi Australia di Indonesia. Bahkan, Australia mengklaim bahwa Indonesia memberikan komitmen yang lebih kuat dibandingkan perjanjian lain yang pernah dilakukannya.

Menurut Puspa Dewi, Koordinator Solidaritas Perempuan, dalam liberalisasi investasi di sektor jasa terdapat aturan dimana Indonesia dilarang untuk membatasi tingkat kepemilikan investasi Australia. Bahkan Indonesia dilarang untuk mewajibkan divestasi atas kepemilikan investasi Australia di Indonesia di bawah persentase yang telah disepakati (dengan pengecualian terbatas [2]). Bahkan ketentuan domestic regulation disciplines terkadang dimasukan dalam liberalisasi sektor jasa dimana negara dilarang membuat kebijakan yang liberalisasi nya lebih rendah dikemudian hari.

“Aturan perjanjian perdagangan dan investasi akan mendorong banyak de-regulasi. Tentunya hal ini berdampak terhadap menyempitnya ruang kebijakan negara dalam menjalankan kewajibannya untuk memenuhi dan melindungi hak dasar publik di Indonesia. Tapi disisi yang lain, regulasi domestic terus didorong untuk lebih memfasilitasi investasi ketimbang perlindungan rakyat”, terang Dewi.

Rachmi menambahkan bahwa IA CEPA juga mengatur mengenai aturan perlindungan investasi dengan memasukan klausul gugatan investor terhadap negara (Investor State Dispute Settlement/ISDS). Klausul ini dibuat untuk memberikan hak investor asing (dari Australia) untuk menuntut pemerintah tuan rumah di pengadilan Arbitrase Internasional atas peraturan yang dianggap merugikan bagi investor.

“Terkait dengan isu investasi dalam IA CEPA, ada desakan dari perusahaan tambang Australia yang menginginkan agar mekanisme ISDS dimasukan dalam IA CEPA [3]. Mereka mengklaim bahwa perusahaan tambang Australia sering mendapat tekanan besar dari kebijakan Pemerintah Indonesia, khususnya terkait dengan UU minerba yang mewajibkan untuk divestasi saham asing” terang Rachmi.

Rachmi mengingatkan bahwa dari pengalaman Indonesia di Gugat oleh investor asing, beberapa diantaranya adalah perusahaan tambang asal Australia, seperti Churcill Mining dan Planet Mining (perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Australia) yang menggugat Indonesia karena aturan larangan expropriation khususnya soal pencabutan izin tambang. Bahkan, perusahaan tambang asal Australia New Crest pernah mengancam Indonesia untuk digugat di ICSID karena akan mengganti UU mengenai lingkungan.****

Narahubung :
Rachmi Hertanti, Direktur IGJ : 0817-4985180
Kartini Samon, Peneliti Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi : 0813-14761305
Puspa Dewi, Solidaritas Perempuan : 0852-60241597
Henri Pratama, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia : 0813-1569-3394

***
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi adalah koalisi yang fokus memperjuangkan keadilan ekonomi bagi rakyat Indonesia yang terancam oleh mekanisme perdagangan bebas dan investasi. Organisasi yang tergabung dalam koalisi ini antara lain : Aliansi Petani Indonesia, Indonesia AIDS Coalition, Indonesia for Global Justice, Indonesia Human Rights Committee for Social Justice, Kesatuan Perjuangan Rakyat, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Serikat Petani Indonesia, Solidaritas Perempuan, Eknas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Walhi Bali, Yayasan Bina Desa, Yayasan Manikaya Kauci.

Notes:

[2Frasa “Dengan pengecualian terbatas” ini tidak diketahui apa saja yang menjadi pengecualiannya dikarenakan Teks nya tidak terbuka untuk publik


 source: