Kaji ulang IEU CEPA harus dilakukan atas dasar hak asasi manusia, bukan kepentingan industri sawit

All the versions of this article: [English] [Indonesia]

Pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi terhadap perundingan Indonesia-EU CEPA - 21 Maret 2019

Kaji ulang IEU CEPA harus dilakukan atas dasar hak asasi manusia, bukan kepentingan industri sawit

Jakarta, 21 Maret 2019. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi menilai bahwa tidak seharusnya kepentingan industri sawit menjadi dasar kaji ulang rencana kerjasama ekonomi antara Indonesia dengan Uni Eropa dibawah Perjanjian Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA). Hal ini akan sangat tidak adil bagi rakyat Indonesia.

Kaji ulang kerjasama IEU CEPA seharusnya dilakukan berdasarkan penilaian dampak keseluruhan isi perjanjian yang akan ditimbulkan terhadap kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, hak asasi manusia, sosial, dan budaya.

Alasan Pemerintah Indonesia mengkaji ulang perundingan IEU CEPA semata karena perdagangan sawit telah mencederai keadilan sosial seluruh Rakyat Indonesia, karena hal itu hanya menguntungkan kepentingan segelintir elit dan oligarki yang selama ini memonopoli bisnis sawit.

Isi dalam perundingan IEU CEPA aspeknya sangat luas, tidak hanya sekedar bicara perdagangan komoditas ekspor-impor Indonesia, tetapi juga menyangkut aspek kehidupan masyarakat lebih luas, seperti hak kekayaan intelektual, pertanian dan pangan, kesehatan dan akses obat murah, pendidikan, ekonomi digital, dll. IEU CEPA juga berpotensi akan bertentangan dengan Konstitusi karena IEU CEPA juga merundingkan kewajiban negara dalam menjalankan komitmen liberalisasi ekonomi melalui harmonisasi seluruh regulasi domestik agar sesuai dengan isi perjanjian perdagangan internasional.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.13/PUU-XVI/2018 menyatakan secara tegas bahwa keterlibatan negara dalam perjanjian internasional tidak boleh bertentangan dengan prinsip kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial. Oleh karena itu, alasan kaji ulang IEU CEPA oleh Pemerintah Indonesia karena sawit telah mengabaikan perlindungan hak-hak rakyat Indonesia yang telah diamanatkan Konstitusi.

Tukar guling diplomasi sawit dengan hak rakyat

Koalisi juga menilai bahwa diplomasi sawit di dalam perjanjian perdagangan Internasional, Indonesia telah menukar guling kepentingan industry sawit dengan hak-hak dasar publik lainnya.

Hal ini berkaca pada Perjanjian Indonesia-Europe FTA (EFTA) yang telah ditandatangani pada 2018 yang lalu. Koalisi menilai bahwa Indonesia-EFTA adalah perjanjian dengan transaksi yang paling buruk dimanadiplomasi sawit dijadikan prioritas perundingan dengan mengabaikan hak- hak dasar publik yang seharusnya dilindungi oleh Negara. Koalisi ini melihat bahwa IEFTA telah menukar guling kepentingan industri sawit dengan mengorbankan hak atas pangan masyarakat.

Penurunan tariff sawit sebesar 20-40% bagi Indonesia dalam Perjanjian Indonesia-EFTA bukanlah sebuah pretasi mengingat penurunan tariff ini harus dibayarkan dengan hilangnya hak petani atas benih akibat Indonesia mengikatkan diri pada aturan perlindungan paten benih pertanian yang sangat menguntungkan bagi korporasi benih asal Swiss seperti Sygenta, dan tentunya berdampak langsung terhadap kerugian bagi petani dan kedaulatan pangan Indonesia. [1]

Hapus ketergantungan perdagangan Indonesia pada komoditas ekstraktif

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi juga mendesak kepada Pemerintah Indonesia agar agenda diplomasi perdagangan Indonesia yang berbasis komoditas bahan mentah harus segera dibatasi atau bahkan ditinggalkan. Saat ini, pemusatan kinerja perdagangan Indonesia pada komoditas mentah, khususnya sawit dan batubara, telah mengakibatkan memburuknya praktek monopoli di kedua sektor tersebut dan semakin mengakumulasi kerugian yang diderita oleh masyarakat akibat pelanggaran HAM yang terjadi dari kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan konflik lahan.

Hingga saat ini, kontribusi komoditas ekstraktif pada perdagangan Indonesia masih didominasi oleh batubara dan sawit masing-masing adalah 15,12% dan 12,51%, disusul sektor besi-baja dan logam masing-masing 3,54% dan 3,23% dari total eksporMengakibatkan rendahnya daya saing perdagangan Indonesia akibat hanya bergantung pada komoditas ekstraktif. Ketergantungan ini juga tidak dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk membangun industri lokal dan hal ini telah berdampak terhadap de-industrialisasi nasional. [2]

Meningkatnya permintaan minyak kelapa sawit sebagai minyak nabati telah mendorong Indonesia untuk menargetkan Uni Eropa sebagai mitra strategis. Minyak sawit merupakan minyak nabati paling efisien dibandingkan minyak nabati lain sehingga sangat disenangi industri yang menginginkan harga murah untuk bahan bakunya, lebih lanjut minyak sawit juga memiliki kegunaan yang luas tidak hanya dalam makanan, tetapi juga sebagai bahan bakar dan bahan baku berbagai turunan industri kimia. Meningkatnya konsumsi global terhadap minyak sawit telah
mengakibatkan terjadinya ekspansi atau perluasan lahan secara terus menerus. [3] Data WALHI
mencatat bahwa dominasi penguasaan lahan oleh sektor swasta di sektor perkebunan kelapa sawit sangat tinggi bahkan hingga mencapai 10.7 Juta Hektar. [4]

Dari angka tersebut, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat lebih dari 600.000 hektar telah memasuki Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Dampaknya, deforestasi di pulau-pulau kecil tak terhindarkan. Luas hutan di pulau-pulau kecil yang tercatat lebih dari 4,1 juta hektar dan luasan hutan mangrove di kawasan pesisir seluas 4,4 juta hektar terus menyusut akibat ekspansi perkebunan sawit. Dalam jangka Panjang, krisis sosial-ekologis di pesisir dan pulau-pulau kecil yang merugikan 8 juta keluarga nelayan tak terhindarkan.

Perluasan perkebunan mengakibatkan konflik sosial ditengah-tengah masyarakat akibat pengambil-alihan lahan dan pengusiran penduduk lokal secara paksa. Walhi mencatat di sepanjang tahun 2017 terdapat 302 konflik lingkungan hidup-agraria yang masing-masing tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Berbagai laporan dan studi juga telah membuktikan kerusakan hutan hujan tropis dan degradasi lingkungan akibat ekspansi perkebunan sawit di Indonesia. WALHI menyatakan bahwa berdasarkan data BNPB (2017) terdapat 2.175 kejadian bencana di Indonesia dan 99,08% diantaranya merupakan bencana ekologis, yang berdampak terhadap 3,5 juta jiwa.

Oleh karena itu, diplomasi sawit dalam kebijakan perdagangan internasional Indonesia bukanlah solusi terbaik untuk meningkatkan kehidupan rakyat. Bahkan, pada akhirnya, monopoli penguasaan dan pengelolaan eksploitatif sumber daya alam berdampak terhadap hilangnya akses rakyat terhadap tanah, air, dan laut yang merupakan sumber penghidupan rakyat, yang kemudian menimbulkan resiko terhadap keberlanjutan ekonomi dan kehidupannya secara utuh.

Penilaian dampak HAM terhadap perjanjian FTA, tak terkecuali IEU CEPA

IEU CEPA hendaknya sama sekali tidak membatasi ruang kebijakan pemerintah untuk dapat mengatur perekonomian dan mengambil tindakan untuk memastikan hak warga negara terhadap kehidupan, pangan, air dan sanitasi, energi, kesehatan, perumahan, pendidikan dan pekerjaan yang layak. Kami melihat bahwa negosiasi saat ini sebagian besar didorong oleh kepentingan perusahaan transnasional besar. Akses dan perlindungan pasar yang tidak terbatas untuk investasi asing akan menghasilkan konsentrasi pasar dan modal lebih lanjut. Hal ini berkontribusi terhadap ketimpangan sosioekonomi di dalam dan di antara negara-negara dan oleh karenanya bukan merupakan cara atau langkah yang berkelanjutan untuk masa yang akan datang.

Oleh karena itu, berkali-kali Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi mendesak kepada Pemerintah Indonesia dan DPR RI untuk melakukan penilaian dampak atas Hak Asasi Manusia sebelum dan selama perundingan Perjanjian FTA. Mendahulukan HAM di atas kepentingan dagang dan investasi hendaknya menjadi “redlines” yang tidak boleh dilanggar oleh Negara, hal ini telah disampaikan kepada negosiator IEU CEPA pada February 2018 yang lalu:

Untuk memastikan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia dan untuk mendukung pembangunan yang adil dan berkelanjutan, sangat penting bahwa penilaian mendalam mengenai dampaknya terhadap hak asasi manusia dan lingkungan dilakukan sebelum berakhirnya perundingan CEPA. Hasilnya harus, bersama dengan masukan dari pemangku kepentingan, mengarah pada amandemen teks untuk memastikan bahwa kesepakatan tersebut sesuai dengan tujuan pembangunan yang adil dan berkelanjutan secara menyeluruh. Penilaian Dampak Keberlanjutan yang dibutuhkan dan Penilaian Dampak Hak Asasi Manusia (Human Capital Impact Assessment / HRIA) harus dilakukan bukan hanya ex ante (sebelum), tetapi juga ex post (setelah), untuk mengevaluasi dan memperbaiki dampak hak asasi manusia dan lingkungan yang merugikan yang terjadi sebagai hasil kesepakatan perdagangan dan investasi”. [5] Dan hendaknya tidak mengikat ruang kebijakan pemerintah untuk memastikan pemenuhan dan perlindungan HAM masyarakat."

Putusan MK atas UU Perjanjian Internasional juga telah mengukuhkan kembali peran penting DPR RI memastikan perlindungan hak-hak dan kepentingan masyarakat yang dilindungi dalam Konstitusi. Sehingga, konsekuensi logis yang harus dilakukan oleh DPR RI terkait dengan perjanjian perdagangan dan investasi internasional adalah: Melakukan penilaian analisis dampak secara menyeluruh oleh DPR RI sebelum memberikan persetujuan atas sebuah perjanjian perdagangan dan investasi atas dampaknya terhadap ekonomi, sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia. Hasil dari penilaian dampak inilah yang harus menjadi landasan argumen bagi DPR RI dan Pemerintah dalam mengambil keputusan untuk mengikatkan Indonesia kepada Perjanjian perdagangan dan investasi Internasional.

Sehingga diplomasi industri sawit dalam kebijakan perdagangan internasional Indonesia hendaknya bukan menjadi penentu utama dalam menentukan pengambilan keputusan Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional, tetapi pertimbangan menyeluruh dampak perjanjian terhadap seluruh rakyat Indonesia.

****
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Ekonomi:
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Serikat Petani Indonesia
Solidaritas Perempuan (Women’s Solidarity for Human Rights)
Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
Indonesia Aids Coalition (IAC)
Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)

Footnotes

[3Ann-Kathrin Voge and Friedel Hütz-Adams, Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan: Tuntutan atau Realitas?, Bread for the world, 2014.

[4Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Bahan presentasi FGD Indonesia-EU CEPA lingkup Civil Society Organization yang dilaksanakan oleh IGJ dan KSBSI, 18 Februari 2018, Jakarta.

source :

Printed from: https://www.bilaterals.org/./?kaji-ulang-ieu-cepa-harus