Ramai-ramai menolak perundingan RCEP di tengah pandemi

All the versions of this article: [English] [Indonesia]

Hukum Online - 15 June 2020

Ramai-ramai menolak perundingan RCEP di tengah pandemi
Oleh Moch. Dani Pratama Huzaini

Seharusnya pemerintah menggunakan momentum pandemi untuk melakukan penilaian (asessment) menyeluruh atas draft terkait perjanjian RCEP.

Di tengah penyebaran pandemi Covid-19 yang terus berlangsung dengan ditandai penerapan protokol kesehatan oleh semua pihak, perundingan perdagangan untuk Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) juga terus berlangsung. Pada 20-24 April lalu, RCEP melangsungkan pertemuan TNC (Trade Negotiating Committee) yang diikuti oleh 15 negara, yaitu ASEAN, Jepang, Korea, Australia, Selandia Baru dan China. Pertemuan TNC yang diselenggarakan secara virtual ini kemudian berlanjut pada 10-11 Juni.

RCEP sendiri di dalamnya merundingkan perjanjian perdagangan yang komprehensif, di mana mencakup liberalisasi perdagangan barang, pembukaan sektor-sektor jasa, liberalisasi investasi dan penguatan hak kekayaan intelektual.

Koordinator Advokasi Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana Sidik, menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah yang tetap berupaya merampungkan perundingan RCEP di tengah pandemi Covid-19.

Menurut Maulana, seharusnya Pemerintah menggunakan momentum pandemi ini untuk melakukan penilaian (asessment) menyeluruh atas draft terkait perjanjian RCEP. “Melihat kembali pasal-pasal yang berpotensi menghambat penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi,” ujar Maulana dalam keterangannya yang dikutip hukumonline, Senin (15/6).

Maulana mengatakan, saat ini Indonesia telah memiliki perjanjian peradangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) dengan 15 negara RCEP lainnya. Terbaru FTA dengan Australia. Maulana menerangkan, tarif produk ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut sudah sangat rendah bahkan nol persen.

“Rezim investasi di Indonesia sudah terbuka untuk investor asing. Ekspor Indonesia ke negara-negara RCEP tidak akan signifikan berubah, malah mungkin akan banjir impor produk negara RCEP”. Karena itu, Maulana menilai penyelesaian perundingan RCEP saat ini seharusnya bukan prioritas.

Pemerintah harusnya menjadikan India sebagai contoh. Lutfiyah Hanim dari Third World Network mengungkapkan bahwa pada November 2019 lalu, India memutuskan untuk keluar dari perundingan RCEP setelah menganalisa teks perjanjian RCEP yang sedang dirundingkan akan meningkatkan defisit neraca perdagangan India dengan mitra negara RCEP, seperti China.

“Juga adanya kekhawatiran atas industri lokal dan nasib sektor pertanian khususnya nasib peternak susu akan banjir produk impor yang disampaikan berbagai kelompok masyarakat di India kepada pemerintahnya,” ujar Lutfiyah.

Sementara Arieska Kurniawaty dari Solidaritas Perempuan menegaskan bahwa sepatutnya Pemerintah fokus pada penanganan Covid-19, seperti banyak negara yang berupaya untuk mencari pengobatan dan vaksin untuk Covid-19. Bukan melakukan yang sebaliknya.

“Perjanjian RCEP bisa menghambat akses pada obat dan vaksin yang sangat dibutuhkan masyarakat. Dalam draftnya mengatur perlindungan HKI (hak kekayaan intelektual) yang akan memperkuat monopoli perusahaan farmasi atas obat dan vaksin” ujar Arieska.

Selain itu, Arieska menyoroti RCEP yang meliberalisasi semua sektor. Menurutnya, perjanjian ini berpotensi mendorong fleksibilitas tenaga kerja tanpa upaya perlindungan hak-hak tenaga kerja. Dalam hal ini perempuan yang lebih banyak mengalami tekanan penurunan upah, standar layak kerja maupun perlindungan hak-hak lain.

Kemudian Kartini Samon dari GRAIN mengatakan, di tengah situasi pandemi ini, banyak negara berupaya mengamankan pasokan pangan untuk warga negaranya, dengan melakukan pembatasan sementara perdagangan bahan pangan keluar negaranya.

Kartini mencontohkan keputusan yang dibuat sejumlah negara ASEAN seperti Vietnam, Myanmar, dan Kamboja untuk menutup ekspor berasnya selama beberapa pekan pada akhir Maret, sementara Thailand memutuskan menutup ekspor telurnya selama satu minggu untuk mencegah kekurangan pasokan dalam negeri.

“Dimasa pandemik seperti sekarang saat berbagai negara menutup batas-batasnya, pemenuhan produksi pangan di tingkat lokal menjadi sangat diperlukan,” ujar Kartini.

Sementara Zainal Arifin Fuat dari Serikat Petani Indonesia mengatakan bahwa, melanjutkan perundingan perdagangan di tengah pandemi merupakan langkah buruk mengingat pemerintah seharusnya lebih fokus pada kondisi pertanian dan pangan dalam negeri yang sangat terdampak.

“Pandemi menyebabkan petani kesulitan mendistribusikan pangan sehingga turunnya harga jual,” ungkap Zainal.

Menurut Zainal, pemerintah sebaiknya berfokus pada pengamanan sosial bagi petani dengan melanjutkan atau mengeluarkan kebijakan yang relevan seperti memastikan berjalannya reforma agraria dan kebijakan yang mendukung kedaulatan pangan.

“Dukungan pada produksi pertanian di tingkat lokal akan sulit dilakukan jika perjanjian RCEP dilakukan,” tambah Zainal.

Kesepakatan RCEP akan lebih banyak menggusur produksi pangan lokal. Langkah-langkah kebijakan yang dilakukan sejumlah negara tersebut bisa tidak dimungkinkan jika mengikatkan diri pada perjanjian perdagangan bebas seperti RCEP. Hal itu justru akan dapat menyebabkan semakin sulitnya mengatasi krisis kesehatan dan ekonomi berkepanjangan yang terjadi saat ini.

Indonesia Aids Coalition (IAC) berpandangan bahwa saat krisis kesehatan dan ekonomi di berbagai wilayah dunia dan di Indonesia, langkah-langkah tepat untuk melindungi rakyat dari pandemi dengan memastikan layanan kesehatan yang terjangkau dan memadai bagi semua sekaligus menjamin perlindungan keselamatan petugas kesehatan hendaknya menjadi prioritas pemerintah.

Dengan bertambahnya jumlah pasien yang harus dirawat, tidak hanya rumah sakit yang kewalahan karena pasien- pasien baru, tetapi juga layanan kesehatan untuk pasien yang sudah ada, dan pasien dengan penyakit menahun akan terganggu. Misalnya layanan cuci darah, pengobatan HIV, bahkan orang mau melahirkan.

“Bagi pasien ini juga menjadi beban tambahan, untuk pembayaran rapid tes, pembelian alat pelindung diri, di tengah pendapatan masyarakat yang menurun,” tutup IAC.

source : Hukum Online

Printed from: https://www.bilaterals.org/./?ramai-ramai-menolak-perundingan